MAKALAH
Imam
dalam Shalat
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Agam 3(fiqh)
Dosen Pengampu :Alfa Syahriar, Lc.
M.Sy
DISUSUN
OLEH:
NAMA : Lu’lu’ Shoimatul Mardliyah
NIM :161420000066
PROGAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ JEPARA
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT
Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Imam dalam Shalat” yang telah kami susun secara maksimal dapat menjadi
pembelajaran dan amal untuk bekal dikemudian hari.
Dalam penyusunan makalah ini
sebagai bentuk kesadaran kami dalam memenuhi tugas mata kuliah Agama, kami
merasa telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak baik moral maupun
spiritual.
Mudah-mudahan makalah ini dapat
memberikan manfaat dalam segala bentuk belajar mengajar, sehingga apat
mempermudah pencapaian tujuan pendidikan nasional. Namun makalah ini masih
belum sempurna, oleh karena itu saya mengharap kritik dan sarannya yang akan
menjadikan makalah ini lebih baik.
Jepara, 20 Desember 2017
penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kedudukan shalat dalam agama Islam sangat tinggi dibanding dengan
ibadah yang lainya. Shalat merupakan
pondasi utama bagi tegaknya agama Islam atau keislaman seseorang. Dengan
demikian tidaklah dapat di katakan seseorang beragama Islam jika yang
bersangkutan tidak melakukan shalat, sebelum melakukan shalat berjamaah harus
mengetahui pengertian, hukum-hukum dan syarat-syarat shalat yang akan
dikerjakan. Berjamaah sangat di anjurkan, karena dengan berjamaah, apabila
shalat kita ada yang kurang sempurna, maka akan tertutupi dengan berjamaah itu.
Shalat berjamaah termasuk salah satu keistimewaan yang di berikan
dan di syariatkan secara khusus bagi umat Islam. Berjamaah mengandung
nilai-nilai pembiasaan diri untuk patuh, bersabar, berani, dan tertib aturan,
di samping nilai sosial untuk menyatukan hati dan menguatkan ikatan. Berjamaah
adalah hubungan yang terjadi antara shalat imam dan makmum. Semakin banyak
jumlah orang yang berjamaah semakin disukai Allah.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.
Apa
pengertian imam shalat?
2. Bagaimana jika perempuan menjadi imam?
3.
Bagaimana jika perempuan menjadi imam shalat
bagi kaum laki-laki?
4.
Siapakah orang
yang paling berhak menjadi imam?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Imam Shalat
Kata imam dalam
bahasa Arab adalah pemimpin, pemuka. Sedangkan imam menurut istilah adalah pemuka di
dalam berbagai aspek kehidupan umat Islam.(Hidayatullah, 1992:420)
Sedangkan pengertian imam dalam konteks shalat
adalah pimpinan dalam shalat jama’ah, baik dalam kedudukannya yang tetap maupun
dalam keadaan yang sementara, sang imam berdiri paling depan dari barisan
jama’ah shalat.
Seorang imam biasanya adalah orang yang
baik dalam shalatnya, orang-orang yang berhati-hati mengerjakan shalat, yang
memperbaiki caracara shalat, agar mendapat ganjaran orang-orang yang menjadi
pengikut (makmum) dan bukan mendapat dosa dari kesalahan orang yang berada di belakangnya.
Keberadaan imam dalam shalat tidak lepas
adanya shalat yang dilakukan secara berjamaah, yaitu shalat yang dilakukan dua
orang atau lebih secara bersama-sama dengan ketentuan tertentu, di mana seorang
menjadi imam dan yang lainnya menjadi makmum. Maka para jamaah
bahu- membahu antara satu dengan yang lain, dengan
membentuk satu barisan tentara yang siap melaksanakan perintah
dari komandannya. Dengan berdiri satu barisan dan melakukan
gerakan-gerakan secara serempak, maka perasaan akan kesatuan tujuan
akan tertanam yaitu mengabdi kepada Allah dengan sedemikian rupa, sehingga
bergerak secara serempak, serempak mengangkat tangan dan
serempak menggerakkan kaki dan gerakan-gerakan shalat lainnya secara sempurna. (Al-Maududi, 1984:140-141)
B. Perempuan Menjadi Imam
Mengenai wanita menjadi imam
shalat, para fuqaha berbeda pendapat. Jumhur fuqaha berpendapat
bahwa kaum wanita tidak boleh mengimami kaum laki-laki. Menurut Imam Syafi’i wanita
mengimami kaum wanita diperbolehkan, imam Malik melarang. Imam Abu Hanifah walaupun boleh namun hukumnya makruh.28 Sedangkan pendapat Abu
Tsaur dan at-Thabari membolehkan wanita menjadi
imam secara mutlak.
Ammar Ad-duhani menjelaskan keterangan dari seorang perempuan yang
berasal dari kaumnya bernama Hajirah bahwa suatu ketika Ummu Salamah mengimami
kaum perempuan dan berdiri di tengah-tengah mereka.
Sedangkan ulama fikih yang membolehkan kaum wanita menjadi imam
atas kaum wanita adalah alasan karena persamaan derajat dalam shalat.
Lebih-lebih bahwa ketentuan pembolehan ini sudah banyak diriwayatkan dari
sejak permulaan Islam. Hal tersebut dapat dilihat dari hadis Riwayat Abu Daud
dari Ummu Waraqah:
Bahwa Rasullah Saw pernah mengunjungi (Ummu Waraqah) di rumahnya,
dan menunjuk seorang muadzin yang melakukan azan untuknya, dan memerintahkan
Ummu Waraqah untuk menjadi imam (shalat) bagi seisi rumahnya. (HR. Abu Daud).
Berdasarkan
hadis inilah perempuan boleh menjadi imam bagi perempuan, karena Rasulullah
telah memberikan izin kepada Ummu Waraqah nin Naufal ketika menyuruhnya menjadi
muadzin untuk shalat di rumahnya bersama keluarganya. (
http://www.referensimakalah.com/2012/12/hukum-wanita-sebagai-imam-shalat.html)
Seorang perempuan shalat bersama kaum perempuan (berjamaah)
hukumnya sunnah. Posisi imam adalah berdiri di tengah-tengah mereka. Perempuan
boleh menjadi imam shalat hanya dengan sesama perempuan, baik dalam shalat
fardhu maupun shalat lainnya.
Apabila bersama perempuan itu terdapat banyak perempuan, kami
menyuruhnya untuk berdiri pada shaff kedua
yang ada di belakangnya lalu merendahkan suaranya ketika takbir dan zikir, baik
membaca Alquran maupun membaca bacaan
lainnya.
Apabila perempuan itu berdiri di depan shaff dengan mengerjakan
shalat sebagai imam bagi kaum perempuan, shalatnya serta shalat mereka yang ada
di belakang sah.(Muchtar, 2014:106)
Adapun menurut madzab Maliki, shalat
perempuan yang dikerjakan di rumah lebih afdal daripada di masjid dan
berjama’ah, perempuan itu di sunnahkan shalat secara berjama’ah dengan syarat
imamnya adalah laki-laki.( Al maltawi, 1978:167)
C.
Perempuan Menjadi Imam Shalat Bagi Kaum
Laki-Laki
Apabila seorang perempuan mengimami
shalat kaum laki-laki, kaum perempuan, dan sekelompok laki-laki, shalat kaum
perempuan itu sah. Hal itu karena Allah Swt telah menjadikan kaum laki-laki
sebagai pemimpin bagi kaum perempuan. Dengan demikian, tidak boleh seorang
perempuan menjadi imam bagi lelaki dalam keadaan apa pun. (Muchtar,
2014:105)
Menurut madzab Maliki memutlakan
larangan perempuan menjadi imam baik bagi laki-laki maupun perempuan. Jika ada
laki-laki yang shalat di belakang perempuan maka shalatnya tersebut batal,
sedangkan shalat imam perempuan tersebut tetap sah.
Apabia di antara mereka ada seorang
yang khuntsa (banci) yang sulit
diketahui apakah lebih menyerupai laki-laki atau perempuan, mereka tidak boleh
shalat bersama orang khuntsa tersebut. Kaum perempuan yang shalat bersama khuntsa tidak perlu mengganti shalatnya
hingga diketahui dengan jelas bahwa banci itu lebih menyerupai perempuan.
Meskipun demikian, kami menyukai agar mereka mengulangi shalatnya.
Wanita tidak boleh menjadi imam
shalat bagi laki-laki tersebut berdasarkan pada Hadis Rasulullah;
Yang Artinya: Janganlah seorang perempuan mengimami laki-laki.
(HR. Ibnu Majjah)
Hadis yang tidak memperbolehkan
perempuan mengimami laki-laki, atau bahkan perempuan lebih dianjurkan shalat di
rumah saja, jika dilihat dari konteksnya adalah karena kehadiran perempuan di
ruang public dapat menggoda laki-laki sehingga dapat berakibat buruk pada
perempuan itu sendiri karena laki-laki tergoda oleh kehadiran perempuan. Dalam
konteks masyarakat Arab pada masa itu memang perempuan diharuskan menutup diri
di dalam rumah, dan jika mengharuskan keluar rumah maka busana diharuskan yang
menutup seluruh aurat, semua itu untuk kebaikan perempuan itu sendiri. Namun
diluar hal tersebut islam menghimbau laki-laki untuk menundukkan pandangan agar
tidak tergoda oleh perempuan.
D. Orang Yang Paling Berhak Menjadi Imam
Orang yang paling berhak menjadi imam adalah
imam yang ditunjuk dan digaji oleh negara, karena meskipun ia adalah wakil yang
ditunjuk oleh pemerintah tetapi tetap dia yang lebih utama, dan jika dipilih
dengan kesepakatan ahli masjid maka ia lebih berhak. Status keimaman merupakan
otoritas khusus (al walayah al-khashshah) Dianjurkan kepada tuan rumah agar
memberikan izin kepada orang yang lebih utama darinya untuk menjadiimam shalat.
Hikmahnya jika seorang menjadi imam bagi orang lain di rumah atau wilayah orang
lain tanpa mendapatkan izin, maka hal itu terkesan merendahkan status pemimpin
wilayah tersebut dan akan menimbulkan kebencian, perselisihan, dan memunculkan
perbedaan yang harus dihilangkan dalam shalat jamaah. Darisini maka sebaiknya orang
yang mempunyai kekuasaan didahulukan, terutama dalam shalat hari raya dan
shalat jum'at. Tidak diperbolehkan pula melangkahi imam kampung dan tuan rumah
kecuali dengan izinnya. Jika tidak ditemukan imam yang dipilih pemerintah dan
juga tidak ada imam dari tuan rumah yang pantas menjadi imam, maka yang berhak
menjadi imam berikutnya dijelaskan oleh Rasulullah dalam hadis narasi Abu d dab, Beliau bersabda: (Azzam, 2015:253)
”Orang yang
paling mumpuni bacaan Kitab Nya menjadi imam kaum. Jika kemampuan Alquran mereka sama, maka dipilihlah yang paling mengetahui
sunnah. Jika tingkat pengetahuan mereka terhadap
sunnah sama, maka
dipilihlah yang paling dulu hijrah. Jika rentan waktu mereka sama, maka
dipilihlah yang palmg tua usianya. Janganlah
kali seseorang mengambil kursi keimaman
orang yang telah diberi otoritas
keimaman dan hendaklah ia tidak duduk di rumahnya atas kemurahannya kecuali dengan izinnya.”
Yang dimaksud
sulthan adalah orang
yang mengurusi perkara orang lain. Ia didahulukan daripada yang lain, mekipun
ia yang sedik hafalan Alqurannya dan kemampuan fiqhnya. Jauh lebih baik jik
mengartikan sulthan sebagai segala urusan yang menyangkut tuan rumah dan imam
masjid. Hal ini sejalan dengan disyariatkannya shalat jamaah berupa penguatan basis hubungan dan komunikasi. (Azzam, 2015:254)
Pandangan Para Ulama Mengenai Orang yang Paling Patut menjadi Imam
Shalat
Madzab Hanafi berpendapat
bahwasanya orang yang paling patut menjadi imam shalat adalah orang yang lebih
berilmu dalam hokum agama kemudian orang yang lebih baik bacaan Al-Qur’anya,
orang yang lebih wara’, kemudian orang yang lebih dulu masuk islam, orang yang
lebih tua usianya, orang yang lebih baik akhlaknya, orang yang lebih bagus
wajahnya, orang yang lebih mulia nasabnya, orang yang lebih bersih pakaianya.
Dan apabila semua sama dalam sifat-sifat yang disebutkan diatas, maka hendaklah
diundi diantara mereka.
Madzab Maliki berpendapat
bahwasanya orang yang paling patut menjadi imam shalat adalah sultan atau
wakilnya, imam masjid, tuan rumah, orang yang lebih tahu hokum shalat, orang
yang lebih mengetahui hokum hadits, orang yang paling adil, orang yang lebih
baik bacaanya, orang yang lebih taat beribadah, orang yang telah lebih dulu
masuk islam, orang yang lebih mulia nasabnya, orang yang lebih baik akhlaknya,
orang yang lebih baik pakaianya. Dan jika mereka semua sama dalam sifat yang
disebutkan diatas, maka harus diundi.
Madzab Hambali berpendapat
bahwasanya orang yang paling patut menjadi imam shalat adalah orang yang lebih
mengerti hokum agama dan lebih baik bacaanya, kemudian orang yang lebih baik
bacaanya saja, orang yang lebih tahu hukum shalat, kemudian orang yang lebih
baik bacaanya tetapi tidak tahu hukum shalat, orang yang lebih dulu hijrah,
orang yang lebih aqwa, orang yang lebih wara’. Dan jika semua sifat yang
disebutkan sama, maka harus diundi.
Madzab
Syafi’I berpendapat bahwasanya orang yang paling patut menjadi imam shalat
adalah penguasa, imam masjid, orang yang paling faqih, orang yang paling bagus
bacaanya, orang yang paling wara’, orang yang lebih dulu hijrah, orang yang
lebih dulu memeluk agama islam, orang yang lebih baik nasabnya, orang yang
lebih bersih pakaianya, orang yang lebih bersih badanya, orang yang lebih bagus
suaranya, kemudian orang yang lebih bagus siknya yaitu wajah. (http://bodohtapisemangat.blogspot.co.id/2015/03/kedudukan-perempuan-menjadi-imam-salat.html)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Imam dalam shalat tidak lepas adanya
shalat secara berjamaah, yaitu shalat yang dilakukan dua orang atau lebih
secara bersama-sama dengan ketentuan tertentu, di mana seorang menjadi imam dan
yang lainnya makmum. Seorang
perempuan shalat menjadi imam perempuan
(berjamaah) hukumnya sunnah. Posisi imam
berdiri di tengah-tengah mereka. Perempuan boleh jadi imam shalat hanya dengan
sesama perempuan, baik shalat fardhu maupun lainnya. Apabila perempuan mengimami shalat
kaum laki-laki, kaum perempuan, dan sekelompok laki-laki, shalat kaum perempuan
itu sah. Hal itu karena Allah Swt telah menjadikan kaum laki-laki sebagai
pemimpin bagi kaum perempuan. Dengan demikian, tidak boleh perempuan menjadi
imam lelaki dalam keadaan apa pun.
Orang
yang berhak menjadi imam adalah imam
yang ditunjuk dan digaji oleh negara, karena meskipun ia adalah wakil yang
ditunjuk oleh pemerintah tetapi tetap dia yang lebih utama, dan jika dipilih
dengan kesepakatan ahli masjid maka ia lebih berhak.
Al-Maltawi, Hasan Kamil. 1978. Fiqh Ibadah ala Madzab Al-Imam
Malik. Mesir: Maktabah Misriyah.
Al-Maududi, Abul A’la. 1984, Dasar-dasar Islam.
tarj. Achsin
Mohammad.
Bandung:Pustaka
Azzam, A.A.M. 2015. Fiqh Ibadah. Jakarta:Amzah
Hidayatullah, Syarif. 1992. Ensiklopedi Islam
Indonesia, Jakarta: Djambatan.
Muchtar, Asmaji. 2014. Fatwa-fatwa
Imam Asy-Syafi’i: masalah ibadah. Jakarta: Amzah.
http://bodohtapisemangat.blogspot.co.id/2015/03/kedudukan-perempuan-menjadi-imam-salat.html
0 komentar:
Posting Komentar