Kamis, 28 Desember 2017

Etika Marketing Syariah Terlengkap

MAKALAH
Etika Marketing Syari’ah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah  Manajemen Pemasaran Bank Syari’ah

Dosen Pengampu : Faiqul Hazmi, S.E.I.,ME.Sy
                                                                                 

DISUSUN OLEH:

Lu’lu’ Shoimatul Mardliya
Fadriyan S Kamal                
M Aukhia Ulumuddin          


PROGAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ JEPARA
2017



                                               KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Landasan Amaliah Aswaja” yang telah kami susun secara maksimal dapat menjadi pembelajaran dan amal untuk bekal dikemudian hari.
Dalam penyusunan makalah ini sebagai bentuk kesadaran saya dalam memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia, saya merasa telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak baik moral maupun spiritual.
Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan manfaat dalam segala bentuk belajar mengajar, sehingga dapat mempermudah pencapaian tujuan pendidikan nasional. Namun makalah ini masih belum sempurna, oleh karena itu saya mengharap kritik dan sarannya yang akan menjadikan makalah ini lebih baik.


                                                                                                Jepara, 11 Juni 2017
                                                                                                            Penyusun



DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................. iii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A.    Latar Belakang Masalah......................................................................... 1
B.      Rumusan Masalah................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................ 2
A.    Pengertian Etika Pemasaran  Syari’ah................................................... 2
B.     Nilai-Nilai Etika Pemasaran.................................................................. 5
BAB III PENUTUP........................................................................................ 8
A.    Kesimpulan............................................................................................. 8

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 9
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Etika bisnis adalah acuan bagi perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha termasuk dalam berinterkasi dengan pemangku kepentingan. Sebagaimana kita mengetahui bahwa orientasi ilmu pemasaran adalah pasar. Sebab pasar merupakan mitra sasaran dan sumber penghasilan yang dapat menghidupi dan mendukung pertumbuhan  perusahaan. Oleh karena itu segala upaya dalam bidang pemasaran selalu  berorientasi pada kepuasan pasar. Dan jika pasar dilayani oleh perusahaan, kemudian pasar merasa puas, maka hal ini membuat pasar tetap loyal terhadap  produk perusahaan dalam jangka waktu yang panjang.
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa berbuat baik di dunia. Bahkan ada yang berpendapat bahwa islam itu akhlak karena mengatur semua perilaku kita, mulai dari tidur sampai bangun kembali bahkan sampai pada ekonomi, bisnis dan politik. Etika atau moral dalam bisnis merupakan bagian dari keimanan, keislaman dan ketakwaan yang didasarkan pada keyakinan akan kebenaran Allah SWT. Islam diturunkan Allah pada hakekatnya adalah untuk memperbaiki akhlak atau etika.
Makalah ini kami buat sebagai bahan pembelajaran sekaligus untuk memperkaya ilmu pengetahuan tentang etika dalam bisnis dan pemasaran secara benar sesuai dengan ajaran syar’i, serta dapat diaplikasikan dalam dunia kerja.
A.    Rumusan Masalah
1.      Apa yang Dimaksud dengan Etika Pemasaran  Syari’ah?
2.      Apa Saja Nilai-Nilai Etika Pemasaran yang Diajarkan Muhammad SAW?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Etika Pemasaran  Syari’ah
Etika dapat didefinisikan sebagai prinsip moral yang membedakan yang baik dan buruk. Etika adalah bidang ilmu yang bersifat normative karena ia berperan menentukan apa yang dilakukan oleh seorang individu. Etika adalah ilmu berisi patokan-patokan mengenai apa-apa yang benar dan salah, yang baik dan buruk, yang bermanfaat atau tidak bermanfaat. (Muhammad, 2004:5)
Dalam Islam, istilah yang paling dekat berhubungan dengan istilah etika dalam Alquran adalah Khuluq. Al-Quran juga menggunakan sejumlah istilah lain untuk menggambarkan konsep tentang kebaikan : Khair (kebaikan), birr (kebenaran), qist (persamaan), ‘adl (kesetaraan dan keadilan), haqq (kebenaran dan kebaikan), ma’ruf (mengetahui dan menyetujui) dan takwa (ketakwaan). Tindakan terpuji disebut dengan salihat dan tindakan yang tercela disebut sebagai sayyiat.(Rivai, 2012:3)
Sedangkan menurut terminology pemasaran adalah kebutuhan, keinginan dan permintaan (need, wants and demans), produk, nilai, kepuasan dan mutu (product, value, satisfaction andquality), pertukaran, transaksi dan hubungan (exchange, transaction and realationship) dan pasar (market).( Sampurno, 2011:6)
Pemasaran Syariah adalah sebuah disiplin bisnis strategis yang mengarahkan proses penciptaan, penawaran dan perubahan value dari suatu inisiator kepada stakeholdersnya, yang dalam keseluruhan prosesnya sesuai dengan akad dan prinsip-prinsip muamalah (business) dalam Islam. Hal ini berarti bahwa dalam pemasaran syariah, seluruh proses baik proses penciptaan, penawaran, maupun perubahan nilai (value), tidak boleh ada hal-hal yang bertentangan dengan akad dan prinsip-prinsip muamalah Islam. Sepanjang hal tersebut dapat dijamin, dan penyimpangan prinsip-prinsip muamalah Islami tidak terjadi dalam suatu transaksi atau dalam proses suatu bisnis,maka bentuk transaksi apapun dalam pemasaran dapat dibolehkan. (Kertajaya, 2006:26)
Dalam menjalankan etika bisnis kita harus mengetahui prinsip yang mendasarinya.  Menurut islam, harus kita fahami bahwa pada dasarnya Allah telah menyuruh manusia untuk bekerja. Manusia dianjurkan untuk melakukan kegiatan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, salah satu pekerjaan adalah melakukan kegiatan bisnis. Bisnis dalam islam dijelaskan dijelaskan melalui kata tijarah yang memilki dua makna, yaitu pertama perniagaan secara umum yang mencakup perniagaan manusia dengan Allah. Misalnya saja perasaan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwanya, melaksanakn perintah Allah, menafkahkan hartanya di jalan Allah. Makna tijarah yang kedua adalah perniagaan secara khusus yaitu perdagangan sesama manusia. (Fauzia, 2013:7)
Sedangkan etika pemasaran Islam adalah prinsip-prinsip syariah
marketer yang menjalankan fungsi-fungsi pemasaran secara Islam,
yaitu memiliki kepribadian spiritual (takwa), jujur (transparan),
berlaku adildalam bisnis (Al-Adl), bersikap melayani, menepati janji, dan jujur.
Sebuah marketing untuk memperoleh keberkahan dalam jual-beli, islam mengajarkan prinsip-prinsip moral, sebagai berikut:
1. Jujur dalam menakar dan menimbang
2. Menjual barang yang halal
3. Menjual barang yang baik mutunya
4. Tidak menyembunyikan cacat barang
5. Tidak melakukan sumpah palsu
6. Longgar dan murah hati
7. Tidak menyaingi penjual lain
8. Tidak melakukan riba         
9. Mengeluarkan zakat bila telah sampai nisab dan haulnya.(Rivai, 2012:28)
                        Dengan mengacu kepada Al-Qur’an dan praktik kehidupan pasar pada masa Rasulullah dan para sahabatnya, Ibnu Taimiyyah menyatakan, bahwa cirri khas kehidupan pasar yang islami adalah sebagai berikut:
1. Orang harus bebas untuk keluar dan masuk pasar
2. Adanya informasi yang cukup mengenai kekuatan-kekuatan pasar dan barang-barang dagangan.
3. Unsur-unsur monopolistic harus dilenyapkan dari pasar
4. Adanya kenaikan dan penurunan harga yang disebabkan naik-turunnya tingkat permintaan dan penawaran
5. Adanya homogenitas dan standardisasi produk agar terhindar dari pemalsuan produk, penipuan, dan kecurangan kualitas barang
6. Terhindar dari penyimpangan terhadap kebebasan ekonomi yang jujur, seperti sumpah palsu, kecurangan dalam menakar, menimbang, mengukur, dan niat yang buruk dalam perdagangan. .(Rivai, 2012:30)



B.  Nilai-Nilai Etika Pemasaran yang Diajarkan Muhammad SAW
Rasulullah saw. Sangat banyak memberikan petunjuk mengenai etika pemasaran, berikut ini adalah urainnya:
Pertama, bahwa prinsip esensial dalam bisnis adalah kejujuran. Dalam doktrin islam,  kejujuran merupakan syarat fundamental dalam kegiatan bisnis. Rasulullah saw sangat intens menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis.
Kedua, kesadaran tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis. Pelaku bisnis menurut islam, tidak hanya sekedar mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan Bapak ekonomi kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta’awun (menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis. Tegasnya, berbisnis bukan mencari untung materiil semata, tetapi didasari kesadaran memberi kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang.
Ketiga, tidak melakukan sumpah palsu. Nabi muhammad saw sangat intens melarang para pelaku bisnis melakukan sumpah palsu dalam melakukan transaksi bisnis.
Keempat, ramah-tamah. Seorang pelaku bisnis, harus bersikap ramah dalam melakukan bisnis. Nabi Muhammad saw mengatakan.”Allah merahmati seorang yang ramah dan toleran dalam berbisnis” (HR. Bukhari dan Tarmizi)
Kelima, tidak boleh berpura pura menawar dengan harga tinggi, agar orang lain tertarik membeli dengan harga tersebut. Sabda Nabi Muhammad, “janganlah kalian melakukan najsya (seorang pembeli tertentu, berkolusi dengan penjual untuk menaikkan harga, bukan dengan niat untuk membeli, tetapi agar menarik orang lain untuk membeli).”
Keenam, tidak boleh menjelekkan bisnis orang lain, agar orang membeli kepadanya. Nabi Muhammad saw bersabda, “janganlah seseorang di antara kalian menjual dengan maksud untuk menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Ketujuh, tidak melakukan ihtikar. Ihtikar ialah (menumpuk dan menyimpan barang dalam masa tertentu, dengan tujuan agar harganya suatu saat menjadi naik dan keuntungan besar pun diperoleh). Rasulullah saw melarang keras perilaku bisnis semacam itu.
Kedelapan, takaran, ukuran, dan timbangan yang benar. Dalam perdagangan, timbangan yang benar dan tepat harus benar-benar diutamakan.
Kesembilan, bisnis tidak boleh mengganggu kegiatan ibadah kepada Allah swt, firman Allah swt.”orang yang tidak dilalaikan oleh bisnis lantaran mengingat Allah swt., dan dari mendirikan shalat dan membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari itu, hati dan penglihatan menjadi goncang”.
Kesepuluh, membayar upah sebelum kering keringat karyawan. Nabi Muhammad saw, bersabda,”berikanlah upah kepada karyawan, sebelum kering keringatnya”. Hadis ini mengindikasikan bahwa pembayaran upah tidak boleh ditunda-tunda.
Kesebelas, tidak monopoli. Salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis ialah melegitimasi monopoli dan oligopoli. Contoh yang sederhana adalah eksploitasi (penguasaan) individu tertentu atas hak milik sosial, seperti air, udara, beserta tanah dan kandungan isinya seperti barang tambang dan mineral.
Kedua belas, tidak boleh melakukan bisnis dalam kondisi eksisnya bahaya (mudharat) yang dapat merugikan dan merusak kehidupan individu dan sosial. Misalnya, larangan melakukan bisnis senjata di saat terjadi chaos (kekacauan) politik.
Ketiga belas, komoditas bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan halal, bukan barang yang haram, seperti babi, anjing, minuman keras, ekstasi, dan sebagaimana. Nabi Muhammad saw. bersabda “Sesungguhnya Allah mengharamkan bisnis miras, bangkai, babi, dan patung-patung”
Keempat belas, bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Yang dijelaskan dalam Surah An-Nisa ayat 29 “ Hai orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” 
Kelima belas, segera melunasi kredit yang menjadi kewajibannya. Rasulullah saw memuji seorang muslim yang memiliki perhatian serius dalam pelunasan utangnya. Sabda Nabi saw. “Sebaik-baik kamu, adalah orang yang paling segera membayar utangnya.” (HR.Hakim)
Keenam belas, memberi tanggung waktu apabila pengutang (kreditor) belum mampu membayar. Sabda Nabi saw “Barang siapa yang menangguhkan orang yang kesulitan membayar utang atau membebaskannya, Allah akan membei naungan di bawah naungan-Nya pada hari yan tak ada naungan kecuali naungan-Nya” (HR. Muslim).
       Ketujuh belas, bahwa bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba. Yang dijelaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 278 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” ( Rivai, 2012:39-44)                   

                                                                                                 





BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa penerapan etika bisnis menurut syariah adalah dalam menjalankan bisnis syariah hendaknya menjalankan etika sesuai ajaran Rasulullah SAW, di antaranya etika kejujuran dalam menjelaskan produk, prinsip suka sama suka dalam melakukan transaksi bisnis, tidak menipu takaran dan timbangan, tidak menjelek-jelekkan bisnis orang lain, bersih dari unsur riba, tidak menimbun barang. Tidak melakukan monopoli, mengutamakan kepuasan pelanggan, membayar upah sebelum kering keringat, dan teguh menjaga amanah.
Penerapan etika pemasaran menurut syariah harus memenuhi beberapa kriteria yaitu ketuhanan, etis, realistis, dan humanitis. Selain itu dalam melakukan pemasaran harus memenuhi kriteria nilai – nilai etika dalam pemasaran syariah yaitu shidiq, fatanah, amanah, tabliq, istiqamah. Pemasaran syariah adalah sebuah disiplin bisnis strategi yang mengarahkan proses penciptaan, penawaran, dan perubahan value ( nilai) dari inisiator kepada stake holdersnya yang dalam keseluruhan prosesnya sesuai prinsip-prinsip muamalah dalam islam





DARTAR PUSTAKA

Alma, Buchari dan Donni Juni Priansa. 2009. Manajemen Bisnis Syari’ah. Bandung: Alfabeta.
Fauzia, Ika Yunia. 2013. Etika Bisnis dalan Islam. Jakarta: Kencana.
Kartajaya, Hermawan dan Muhammad Syakir Sula. 2006. Syari’ah Marketing. Bandung: Mizan Pustaka.
Muhammad. 2004. Etika Bisnis Islam. Yogyakarta: Akademi Managemen Perusahaan.
Muhammad. 200. Paradigma, Metodologi & Aplikasi Ekonomi Syari’a. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Rivai, Veithzal.dkk. 2012.Islamic Business And Economic Ethics. Jakarta: Bumi Aksara.
Sampurno. 2011. Managemen Pemasaran Farmasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

http://repository.uin-suska.ac.id/2724/4/BaB%20III.Pdf
                      
                                            



Kamis, 21 Desember 2017

makalah IMAM dalam Shalat beserta permasalahan

                                        MAKALAH
Imam dalam Shalat
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Agam 3(fiqh)
Dosen Pengampu :Alfa Syahriar, Lc. M.Sy
                                                                                 

DISUSUN OLEH:

 NAMA      : Lu’lu’ Shoimatul Mardliya
NIM                   :161420000066



PROGAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ JEPARA
2017



KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Imam dalam Shalat” yang telah kami susun secara maksimal dapat menjadi pembelajaran dan amal untuk bekal dikemudian hari.
Dalam penyusunan makalah ini sebagai bentuk kesadaran kami dalam memenuhi tugas mata kuliah Agama, kami merasa telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak baik moral maupun spiritual.
Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan manfaat dalam segala bentuk belajar mengajar, sehingga apat mempermudah pencapaian tujuan pendidikan nasional. Namun makalah ini masih belum sempurna, oleh karena itu saya mengharap kritik dan sarannya yang akan menjadikan makalah ini lebih baik.


                                                                                    Jepara, 20 Desember 2017

                                                                                                penyusun




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kedudukan shalat dalam agama Islam sangat tinggi dibanding dengan ibadah yang lainya. Shalat  merupakan pondasi utama bagi tegaknya agama Islam atau keislaman seseorang. Dengan demikian tidaklah dapat di katakan seseorang beragama Islam jika yang bersangkutan tidak melakukan shalat, sebelum melakukan shalat berjamaah harus mengetahui pengertian, hukum-hukum dan syarat-syarat shalat yang akan dikerjakan. Berjamaah sangat di anjurkan, karena dengan berjamaah, apabila shalat kita ada yang kurang sempurna, maka akan tertutupi dengan berjamaah itu.
Shalat berjamaah termasuk salah satu keistimewaan yang di berikan dan di syariatkan secara khusus bagi umat Islam. Berjamaah mengandung nilai-nilai pembiasaan diri untuk patuh, bersabar, berani, dan tertib aturan, di samping nilai sosial untuk menyatukan hati dan menguatkan ikatan. Berjamaah adalah hubungan yang terjadi antara shalat imam dan makmum. Semakin banyak jumlah orang yang berjamaah semakin disukai Allah.
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Apa pengertian imam shalat?
2.      Bagaimana jika perempuan menjadi imam?
3.      Bagaimana jika perempuan menjadi imam shalat bagi kaum laki-laki?
4.      Siapakah orang yang paling berhak menjadi imam?




BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Imam Shalat
Kata imam dalam bahasa Arab adalah pemimpin, pemuka. Sedangkan imam menurut istilah adalah pemuka di dalam berbagai aspek kehidupan umat Islam.(Hidayatullah, 1992:420)
 Sedangkan pengertian imam dalam konteks shalat adalah pimpinan dalam shalat jama’ah, baik dalam kedudukannya yang tetap maupun dalam keadaan yang sementara, sang imam berdiri paling depan dari barisan jama’ah shalat.
Seorang imam biasanya adalah orang yang baik dalam shalatnya, orang-orang yang berhati-hati mengerjakan shalat, yang memperbaiki caracara shalat, agar mendapat ganjaran orang-orang yang menjadi pengikut (makmum) dan bukan mendapat dosa dari kesalahan orang yang berada di belakangnya.
Keberadaan imam dalam shalat tidak lepas adanya shalat yang dilakukan secara berjamaah, yaitu shalat yang dilakukan dua orang atau lebih secara bersama-sama dengan ketentuan tertentu, di mana seorang menjadi imam dan yang lainnya menjadi makmum. Maka para jamaah bahu- membahu antara satu dengan yang lain, dengan membentuk satu barisan tentara yang siap melaksanakan perintah dari komandannya. Dengan berdiri satu barisan dan melakukan gerakan-gerakan secara serempak, maka perasaan akan kesatuan tujuan akan tertanam yaitu mengabdi kepada Allah dengan sedemikian rupa, sehingga bergerak secara serempak, serempak mengangkat tangan dan serempak menggerakkan kaki dan gerakan-gerakan shalat lainnya secara sempurna. (Al-Maududi, 1984:140-141)



B.     Perempuan Menjadi Imam
Mengenai wanita menjadi imam shalat, para fuqaha berbeda pendapat. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa kaum wanita tidak boleh mengimami kaum laki-laki. Menurut Imam Syafi’i wanita mengimami kaum wanita diperbolehkan, imam Malik melarang. Imam Abu Hanifah walaupun boleh namun hukumnya makruh.28 Sedangkan pendapat Abu Tsaur dan at-Thabari membolehkan wanita menjadi imam secara mutlak.
Ammar Ad-duhani menjelaskan keterangan dari seorang perempuan yang berasal dari kaumnya bernama Hajirah bahwa suatu ketika Ummu Salamah mengimami kaum perempuan dan berdiri di tengah-tengah mereka.
Sedangkan ulama fikih yang membolehkan kaum wanita menjadi imam atas kaum wanita adalah alasan karena persamaan derajat dalam shalat. Lebih­-lebih bahwa ketentuan pembolehan ini sudah banyak diriwayatkan dari sejak permulaan Islam. Hal tersebut dapat dilihat dari hadis Riwayat Abu Daud dari Ummu Waraqah:
Bahwa Rasullah Saw pernah mengunjungi (Ummu Waraqah) di rumahnya, dan menunjuk seorang muadzin yang melakukan azan untuknya, dan memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam (shalat) bagi seisi rumahnya. (HR. Abu Daud).
Berdasarkan hadis inilah perempuan boleh menjadi imam bagi perempuan, karena Rasulullah telah memberikan izin kepada Ummu Waraqah nin Naufal ketika menyuruhnya menjadi muadzin untuk shalat di rumahnya bersama keluarganya. ( http://www.referensimakalah.com/2012/12/hukum-wanita-sebagai-imam-shalat.html)
Seorang perempuan shalat bersama kaum perempuan (berjamaah) hukumnya sunnah. Posisi imam adalah berdiri di tengah-tengah mereka. Perempuan boleh menjadi imam shalat hanya dengan sesama perempuan, baik dalam shalat fardhu maupun shalat lainnya.
Apabila bersama perempuan itu terdapat banyak perempuan, kami menyuruhnya untuk berdiri pada shaff kedua yang ada di belakangnya lalu merendahkan suaranya ketika takbir dan zikir, baik membaca  Alquran maupun membaca bacaan lainnya.
Apabila perempuan itu berdiri di depan shaff dengan mengerjakan shalat sebagai imam bagi kaum perempuan, shalatnya serta shalat mereka yang ada di belakang sah.(Muchtar, 2014:106)
Adapun menurut madzab Maliki, shalat perempuan yang dikerjakan di rumah lebih afdal daripada di masjid dan berjama’ah, perempuan itu di sunnahkan shalat secara berjama’ah dengan syarat imamnya adalah laki-laki.( Al maltawi, 1978:167)

C.     Perempuan Menjadi Imam Shalat Bagi Kaum Laki-Laki
Apabila seorang perempuan mengimami shalat kaum laki-laki, kaum perempuan, dan sekelompok laki-laki, shalat kaum perempuan itu sah. Hal itu karena Allah Swt telah menjadikan kaum laki-laki sebagai pemimpin bagi kaum perempuan. Dengan demikian, tidak boleh seorang perempuan menjadi imam bagi lelaki dalam keadaan apa pun. (Muchtar, 2014:105)
Menurut madzab Maliki memutlakan larangan perempuan menjadi imam baik bagi laki-laki maupun perempuan. Jika ada laki-laki yang shalat di belakang perempuan maka shalatnya tersebut batal, sedangkan shalat imam perempuan tersebut tetap sah.
Apabia di antara mereka ada seorang yang khuntsa (banci) yang sulit diketahui apakah lebih menyerupai laki-laki atau perempuan, mereka tidak boleh shalat bersama orang khuntsa  tersebut. Kaum perempuan yang shalat bersama khuntsa tidak perlu mengganti shalatnya hingga diketahui dengan jelas bahwa banci itu lebih menyerupai perempuan. Meskipun demikian, kami menyukai agar mereka mengulangi shalatnya.
Wanita tidak boleh menjadi imam shalat bagi laki-laki tersebut berdasarkan pada Hadis Rasulullah;
Yang Artinya: Janganlah seorang perempuan mengimami laki-laki.
(HR. Ibnu Majjah)
Hadis yang tidak memperbolehkan perempuan mengimami laki-laki, atau bahkan perempuan lebih dianjurkan shalat di rumah saja, jika dilihat dari konteksnya adalah karena kehadiran perempuan di ruang public dapat menggoda laki-laki sehingga dapat berakibat buruk pada perempuan itu sendiri karena laki-laki tergoda oleh kehadiran perempuan. Dalam konteks masyarakat Arab pada masa itu memang perempuan diharuskan menutup diri di dalam rumah, dan jika mengharuskan keluar rumah maka busana diharuskan yang menutup seluruh aurat, semua itu untuk kebaikan perempuan itu sendiri. Namun diluar hal tersebut islam menghimbau laki-laki untuk menundukkan pandangan agar tidak tergoda oleh perempuan.
D. Orang Yang Paling Berhak Menjadi Imam
 Orang yang paling berhak menjadi imam adalah imam yang ditunjuk dan digaji oleh negara, karena meskipun ia adalah wakil yang ditunjuk oleh pemerintah tetapi tetap dia yang lebih utama, dan jika dipilih dengan kesepakatan ahli masjid maka ia lebih berhak. Status keimaman merupakan otoritas khusus (al walayah al-khashshah) Dianjurkan kepada tuan rumah agar memberikan izin kepada orang yang lebih utama darinya untuk menjadiimam shalat. Hikmahnya jika seorang menjadi imam bagi orang lain di rumah atau wilayah orang lain tanpa mendapatkan izin, maka hal itu terkesan merendahkan status pemimpin wilayah tersebut dan akan menimbulkan kebencian, perselisihan, dan memunculkan perbedaan yang harus dihilangkan dalam shalat jamaah. Darisini maka sebaiknya orang yang mempunyai kekuasaan didahulukan, terutama dalam shalat hari raya dan shalat jum'at. Tidak diperbolehkan pula melangkahi imam kampung dan tuan rumah kecuali dengan izinnya. Jika tidak ditemukan imam yang dipilih pemerintah dan juga tidak ada imam dari tuan rumah yang pantas menjadi imam, maka yang berhak menjadi imam berikutnya dijelaskan oleh Rasulullah dalam hadis narasi Abu d dab, Beliau bersabda: (Azzam, 2015:253)
Orang yang paling mumpuni bacaan Kitab Nya menjadi imam kaum. Jika kemampuan Alquran mereka sama, maka dipilihlah yang paling mengetahui sunnah. Jika tingkat pengetahuan mereka terhadap sunnah sama, maka dipilihlah yang paling dulu hijrah. Jika rentan waktu mereka sama, maka dipilihlah yang palmg tua usianya. Janganlah kali seseorang mengambil kursi keimaman orang yang telah diberi otoritas keimaman dan hendaklah ia tidak duduk di rumahnya atas kemurahannya kecuali dengan izinnya.”
Yang dimaksud sulthan adalah orang yang mengurusi perkara orang lain. Ia didahulukan daripada yang lain, mekipun ia yang sedik hafalan Alqurannya dan kemampuan fiqhnya. Jauh lebih baik jik mengartikan sulthan sebagai segala urusan yang menyangkut tuan rumah dan imam masjid. Hal ini sejalan dengan disyariatkannya shalat jamaah berupa penguatan basis hubungan dan komunikasi. (Azzam, 2015:254)
Pandangan Para Ulama Mengenai Orang yang Paling Patut menjadi Imam Shalat
            Madzab Hanafi berpendapat bahwasanya orang yang paling patut menjadi imam shalat adalah orang yang lebih berilmu dalam hokum agama kemudian orang yang lebih baik bacaan Al-Qur’anya, orang yang lebih wara’, kemudian orang yang lebih dulu masuk islam, orang yang lebih tua usianya, orang yang lebih baik akhlaknya, orang yang lebih bagus wajahnya, orang yang lebih mulia nasabnya, orang yang lebih bersih pakaianya. Dan apabila semua sama dalam sifat-sifat yang disebutkan diatas, maka hendaklah diundi diantara mereka.
            Madzab Maliki berpendapat bahwasanya orang yang paling patut menjadi imam shalat adalah sultan atau wakilnya, imam masjid, tuan rumah, orang yang lebih tahu hokum shalat, orang yang lebih mengetahui hokum hadits, orang yang paling adil, orang yang lebih baik bacaanya, orang yang lebih taat beribadah, orang yang telah lebih dulu masuk islam, orang yang lebih mulia nasabnya, orang yang lebih baik akhlaknya, orang yang lebih baik pakaianya. Dan jika mereka semua sama dalam sifat yang disebutkan diatas, maka harus diundi.
            Madzab Hambali berpendapat bahwasanya orang yang paling patut menjadi imam shalat adalah orang yang lebih mengerti hokum agama dan lebih baik bacaanya, kemudian orang yang lebih baik bacaanya saja, orang yang lebih tahu hukum shalat, kemudian orang yang lebih baik bacaanya tetapi tidak tahu hukum shalat, orang yang lebih dulu hijrah, orang yang lebih aqwa, orang yang lebih wara’. Dan jika semua sifat yang disebutkan sama, maka harus diundi.
Madzab Syafi’I berpendapat bahwasanya orang yang paling patut menjadi imam shalat adalah penguasa, imam masjid, orang yang paling faqih, orang yang paling bagus bacaanya, orang yang paling wara’, orang yang lebih dulu hijrah, orang yang lebih dulu memeluk agama islam, orang yang lebih baik nasabnya, orang yang lebih bersih pakaianya, orang yang lebih bersih badanya, orang yang lebih bagus suaranya, kemudian orang yang lebih bagus siknya yaitu wajah. (http://bodohtapisemangat.blogspot.co.id/2015/03/kedudukan-perempuan-menjadi-imam-salat.html)




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Imam dalam shalat tidak lepas adanya shalat secara berjamaah, yaitu shalat yang dilakukan dua orang atau lebih secara bersama-sama dengan ketentuan tertentu, di mana seorang menjadi imam dan yang lainnya makmum. Seorang perempuan shalat menjadi imam  perempuan (berjamaah) hukumnya sunnah.  Posisi imam berdiri di tengah-tengah mereka. Perempuan boleh jadi imam shalat hanya dengan sesama perempuan, baik shalat fardhu maupun lainnya. Apabila perempuan mengimami shalat kaum laki-laki, kaum perempuan, dan sekelompok laki-laki, shalat kaum perempuan itu sah. Hal itu karena Allah Swt telah menjadikan kaum laki-laki sebagai pemimpin bagi kaum perempuan. Dengan demikian, tidak boleh perempuan menjadi imam  lelaki dalam keadaan apa pun.
Orang yang  berhak menjadi imam adalah imam yang ditunjuk dan digaji oleh negara, karena meskipun ia adalah wakil yang ditunjuk oleh pemerintah tetapi tetap dia yang lebih utama, dan jika dipilih dengan kesepakatan ahli masjid maka ia lebih berhak.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Maltawi, Hasan Kamil. 1978. Fiqh Ibadah ala Madzab Al-Imam Malik. Mesir: Maktabah Misriyah.
Al-Maududi, Abul A’la. 1984, Dasar-dasar Islam. tarj. Achsin Mohammad.  Bandung:Pustaka
Azzam, A.A.M. 2015. Fiqh Ibadah. Jakarta:Amzah
Hidayatullah, Syarif. 1992.   Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan.
Muchtar, Asmaji. 2014. Fatwa-fatwa Imam Asy-Syafi’i: masalah ibadah. Jakarta: Amzah.


http://bodohtapisemangat.blogspot.co.id/2015/03/kedudukan-perempuan-menjadi-imam-salat.html



 

 

My Blog LSM Template by Ipietoon Cute Blog Design